Suara.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama beberapa organisasi kedokteran Indonesia menolak Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan atau Omnibus Law, karena dinilai tidak memiliki urgensi.
"Tolak Omnibus Law"
Urgensi RUU Kesehatan tidak sebanding dengan beberapa penanganan penyakit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), tuberkulosis (TBC), dan sebagainya yang harus segera diatasi.
Tidak hanya IDI, penolakan ini juga disampaikan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
"Hal paling urgen yang saat ini harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki sistem kesehatan yang secara komprehensif berawai dan pendidikan hingga ke pelayanan," ujar Ketua IDI dr. Adib Khumaidi saat konferensi pers di Menteng, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2022).
Menurut dr. Adib, saat ini baiknya DPR-RI fokus mengawal tantangan persoalan penyakit di Indonesia, dengan fokus kepada perbaikan sistem layanan dan reformasi sistem kesehatan di Indonesia.
"Misalnya TBC, gizi buruk, kematian ibu-anak atau KIA, penyakit-penyakit triple burden yang memerlukan pembiayaan besar," ungkap dr. Adib.
Termasuk juga, kata dia pembiayaan kesehatan masyarakat Indonesia dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), juga perlu dievaluasi dan diperbaiki karena hingga saat ini masih terjadi berbagai kendala di lapangan.
"Pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN, dan pengelolaan data kesehatan di era kemajuan teknologi serta rentannya kejahatan siber, haruslah dihadapi dengan melibatkan stakeholder dan masyarakat," sambung dr. Adib.
Sayangnya perkumpulan organisasi profesi ini, belum menerima draf atau bahkan tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU Kesehatan atau Omnibus Law.
"Sumber isi konten substansi (RUU Kesehatan) belum didapatkan, tapi ada kekhawatiran yang perlu kami sampaikan. Nanti jangan sampai munculnya draft, tapi kami organisasi belum dapatkan draf-nya, keterlibatan kami belum dilibatkan," kata dia.
Adapun salah satu kekhawatiran jika RUU Kesehatan disahkan, dihapuskannya undang-undang organisasi profesi yang jadi acuan pelayanan masing-masing profesi kesehatan.
"Di dalam omnibus law ini jangan sampai menghapuskan undang-undang organisasi profesi, karena kan omnibus law ini kan menyatukan undang-undang," jelasnya.
Sementara itu, hingga saat ini RUU Kesehatan belum ada satupun draft-nya disampaikan ke masyarakat, khususnya masyarakat kesehatan seperti organisasi profesi.
Bahkan dalam halaman DPR RI dan lampiran Surat Keputusan DPR RI No.8/DPR RI/II/2021-2022 bahwa RUU Kesehatan (Omnibus Law) tidak ada dalam daftar tersebut.
RUU ini baru termuat dalam berita “Baleg DPR Bahas Daftar Usulan Prioritas Prolegnas Prioritas 2023” pada 29 Agustus 2022.
"Lalu kami mendapatkan informasi RUU ini telah ditetapkan oleh Baleg DPR dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2022," tutup dr. Adib.
Ketua PPNI, Harif Fadillah mengaku khawatir RUU Kesehatan ini dibahas secara diam-diam dan tidak terbuka ke masyarakat, khususnya organisasi profesi yang akan merasakan dampak secara langsung.
"Kita khawatir ini dibahas secara diam-diam, padahal undang-undang organisasi profesi yang membahas dan menata pendidikan organisasi profesi tau-tahu dicabut, jadi UU Kesehatan ini bisa dianggap sebagai kemunduran atau bertolak belakang," timpal Harif
By Bimo Aria Fundrika | Dini Afrianti Efendi