Menangapi beredarnya Naskah RUU Kesehatan Omnibus Law, Badan Legislatif DPR menyatakan sampai saat ini "belum ada" naskah tersebut. Demikian disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) 17 November 2022 .
"RUU KESEHATAN OMNIBUS LAW"
Dalam RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Badan Legislatif DPR, Drs M. Nurdin MM tersebut, selain para anggota Badan Legislatif juga hadir perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) serta Asosiasi Dinas Kesehatan (ADINKES). Ditegaskan bahwa sampai saat ini belum ada naskah RUU Kesehatan Omnibus Law, sehingga RDPU merupakan pertemuan untuk mendapatkan bahan bagi perumusannya
Ketua Umum Pengurus Bear PDGI, drg. Usman Sumantri, MSc, menyampaikan 3 hal penting yang harus diperhatikan dalam menyusun UU Kesehatan yang perlu fokus pada evaluasi implementasi UU yang sudah ada.
Pertama, kesenjangan antara pendidikan yang memproduksi tenaga kesehatan dengan pelayanan kesehatan yakni masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan. Terlebih menyangkut ketersediaan dokter gigi spesialis. Hal ini merupakan persoalan besar hingga perlu menjembatani antara pendidikan dokter dan dokter gigi dengan kebutuhan di lapangan.
Kedua, produksi tenaga kesehatan dokter dan dokter gigi dikaitkan dengan sistem pembiayaan. Sekarang sudah 87% rakyat Indonesia tercakup Jaminan Kesehatan Nasional, namun 82% dari 238 juta peserta JKN, didistribusikan ke Puskesmas sebagai penyedia fasilitas kesehatan tingkat pertama. Akibatnya, Puskesmas kebanjiran peserta. Fungsi utama Puskesmas sebagai promotor kesehatan masyarakat beralih ke fungsi kuratif. Dari segi sumber daya manusia, jumlah dokter dan dokter gigi yang tersedia di Puskesmas menjadi tidak cukup. Lulusan dokter dan dokter gigi hanya 14,4% yang diperkerjakan sebagai ASN di Puskesmas, sisanya memilih bekerja di sektor swasta, sedangkan peserta Jaminan Kesehatan Nasional tidak banyak diberikan ke sektor swasta. Hal ini merupakan persoalan penting, apalagi bagi dokter gigi sangat bermasalah karena klinik gigi yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan hanya 7%. Belum lagi kalau membutuhkan rujukan pelayanan spesialistik, tenyata tidak tersedia karena memang produksi spesialis sedikit sekali.
Ketiga, masalah distribusi dikaitkan dengan kewajiban negara. Dokter yang bekerja di daerah perifer harus diberi gaji yang lebih dari dokter yang bekerja di perkotaan, dan besarnya agar memadai karena yang sekarang didapat dinilai belum memadai.
Pandangan IDI disampaikan oleh ketua Umum, dr Moh. Adib Khumaidi SpOT, dan wakil Ketua, dr Mahesa Paranadipa MH. Dikatakan bahwa hal paling urgent yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki sistem kesehatan yang secara komprehensif berawal dari pendidikan hingga pelayanan. Jangan korbankan hak-hak rakyat dan hak-hak pemberi layanan kesehatan. Perbaikan sistem jangan memberangus keberadaan organisasi profesi yang selama ini memberikan komitmen untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Selanjutnya dinyatakan bahwa IDI secara resmi menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan mendesak RUU ini dikeluarkan dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
Pada kesempatan ini Adinkes terutama mengharapkan dalam menyusun RUU agar sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku. Ditandaskan bahwa saat ini adalah momentum untuk peningkatan dan perbaikan serta penataan Sistem Kesehatan Nasional agar terjadi peningkatan ketahanan sistem kesehatan yang berkelanjutan. Kemudian perlu penguatan dinas kesehatan sebagai penyelenggara dan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kesehatan. [Berita, Foto : Paulus Januar]