Mediasi sebagai perwujudan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan cara penyelesaian terbaik yang perlu diupayakan pada sengketa medis antara pasien dengan dokter/dokter gigi. Hal tersebut merupakan benang merah pada Pembekalan Hukum Dan Mediasi Bagi Dokter Gigi Batch 2 yang diselenggarakan secara daring oleh PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) bekerjasama dengan STHM (Sekolah Tinggi Hukum Militer) pada 23-25 september 2021.

"SENGKETA MEDIS"

Sengketa medis antara dokter dengan pasien umumnya berawal dari upaya pelayanan kesehatan yang dipandang kurang memuaskan hasilnya bagi pasien. Pada pasal 29 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan ditetapkan bahwa, dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dalam hal ini mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Mediasi merupakan instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan, sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Dibandingkan berperkara di pengadilan, maka mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang lebih efektif dan efisien. Hasil mediasi akan memuaskan semua pihak karena keputusan berdasarkan kesepakatan bersama hingga memberikan hasil yang win-win solution serta bukannya ada yang menang dan ada yang kalah.

Dr Diah Sulastri Dewi, SH, MH yang menjabat hakim pengadilan tinggi dan pengajar di beberapa fakultas hukum pada presentasinya menyampaikan bahwa, mediasi merupakan perwujudan keadilan restoratif yang sekarang ini sedang dikembangkan. Keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Ditambahkannya, pada hakikatnya keadilan restoratif dalam bentuk mediasi sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

KEKELIRUAN KRIMINALISASI MALAPRAKTIK

Saat ini terdapat kecenderungan kriminalisasi atau pemidanaan terhadap kasus dugaan malapraktik dokter dan dokter gigi. Padahal pada paparannya Dr M. Nasser, SpKK, Doctor of Law yang merupakan Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia menyampaikan bahwa tidak tepat menggunakan istilah malapraktik.

Menurutnya, malapraktik adalah istilah yang dipakai pada negara-negara yang menganut sistem hukum common law sedangkan Indonesia berdasarkan civil law. Lagi pula isitilah malapraktik tidak pernah digunakan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Di Amerika Serikat umumnya malapraktik merupakan kasus perdata berdasarkan tort system yang berlaku di sana. Di negara-negara yang menganut common law, malapraktik tidak dijerat sebagai perbuatan kriminal, kecuali dapat dibuktikan adanya kesengajaan atau niat jahat dalam tindakan kedokteran.

Di Indonesia terhadap dugaan malapraktik dengan mudahnya cenderung diproses sebagai kasus pidana. Pemidanaan atau kriminalisasi pada tuntutan malapraktik terhadap dokter dan dokter gigi yang terkena akan sangat meresahkan.

Dr Nasser menyampaikan, kasus seperti praktik tanpa STR (Surat Tanda Registrasi) ataupun tanpa SIP (Surat Izin Praktik) sebenarnya termasuk pelanggaran administrasi dan bukannya kasus pidana. Kekeliruan ini perlu dikoreksi.

Dalam 10-15 tahun terakhir ternyata banyak kasus administrasi negara yang diproses oleh penegak hukum sebagai perkara pidana, padahal tidak disertai dengan bukti permulaan yang cukup sebagai suatu peristiwa pidana. Diserukannya agar mencari bentuk aplikasi penegakan hukum yang adil dan profesional dalam perkara sengketa medis yang up to date, sesuai dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat, dan hak azasi manusia.

Dalam rangka mencegah sengketa medis antara dokter gigi dengan pasien, disampaikannya petunjuk oleh Dr Suryono yang merupakan ketua BPPA (Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota) PB PDGI. Penting bagi dokter gigi untuk memenuhi ketentuan legal formal seperti STR dan SIP. Bagi dokter gigi perlu menjalin komunikasi yang baik dengan pasien terutama menjelaskan semua risiko perawatan dan meminta persetujuan pasien, karena banyak kasus terjadi karena masalah komunikasi. Dokumentasi praktik seperti rekam medis, informed consent, surat rujukan, dan sebagainya perlu didokumentasikan dengan baik. Perlu pula tetap memelihara kompetensi dengan mengikuti seminar, hands on dsb. Sedang bila ada masalah etik, disiplin, maupun hukum secepatnya koordinasi dengan pengurus PDGI setempat untuk mendapatkan pendampingan dari BPPA.

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME DOKTER GIGI

Kegiatan pembekalan hukum dan mediasi diselenggarakan sebagai pemenuhan kebutuhan pengembangan profesionalisme bagi dokter gigi. Ketua panitia pelaksana, Dr Paulus Januar drg MS, mengemukakan bahwa pada kegiatan batch 1 yang dislenggarakan beberapa bulan lalu ternyata sangat diminati sehingga cukup banyak dokter gigi yang tidak dapat mengikuti. Berdasarkan kenyataan tersebut kemudian diselenggarakan kegiatan Batch 2.

Sebagaimana kegiatan terdahulu, kali ini pada hari pertama disampaikan mengenai landasan etika, disiplin dan hukum di bidang kedokteran gigi. Kemudian di hari ke dua disampaikan pengantar hukum pidana, perdata, dan administrasi terutama yang berkaitan dengan kesehatan. Pada hari terakhir selama sehari penuh dilakukan pelatihan mengatasi kasus sengketa medis dan mediasi yang terjadi pada praktik dokter gigi.

Pemberian materi disampaikan oleh para pakar yang sangat mumpuni. Prof drg H Mei Syafriadi, M.DSc, PhD, Sp.PMM(K) memberikan materi etika kedokteran gigi. Disiplin kedokteran diberikan oleh Prof Dr Ali Baziad, SpOG. Mengenai pembinaan dan pembelaan anggota PDGI narasumbernya adalah drg Suryono, SH, MM, PhD. Selanjutnya risiko medis dan kelalaian medis diuraikan oleh Dr Dyah Silviaty, SpA, Mhkes.

Sistem hukum dan peradilan di Indonesia dan keterkaitannya dengan sengketa medis dipaparkan Prof Dr Indriyanto Seno Adji, SH, MH. Pengantar hukum pidana medis diuraikan oleh Prof Dr Sutan Remy Syahdeini SH, sedang pengantar hukum perdata medis disampaikan Prof Dr T. Gayus Lumbuun, SH, MH. Hukum kesehatan serta hukum administrasi medis diberikan oleh Dr. M. Nasser, SpKK, Doctor of Law. Kemudian khusus mengenai mediasi narasumbernya adalah Dr Diah Sulastri Dewi, SH, MH.

Mengatasi kasus sengketa medis dan mediasi yang terjadi pada praktik dokter gigi merupakan kemampuan yang diharapkan sebagai hasil kegiatan ini. Pada pelatihan untuk mendapatkan kemampuan tersebut bertindak sebagai tim fasilitator adalah drg Suryono, SH, MM, PhD, Dr drg Iwan Dermawan Sp.Ort., SH, LLM serta drg. Lenie Dahliana, MH.

Ketua STHM, Brigjen TNI Dr. I Made Kantikha, SH, MH, dalam sambutannya menyampaikan bahwa STHM menyambut baik kolaborasi yang diselenggarakan bersama PDGI. Dikemukakan pula bahwa para dokter gigi dituntut pemahaman hukum dan kemampuan mediasi mengingat terdapatnya dokter gigi yang mengalami sengketa medis. Diutarakannya, mediasi merupakan penyelesaian dengan manfaat yang sebesar-besarnya dan dapat mengakomodasi kepentingan para pihak.

Ketua umum PB PDGI, Dr drg R M Sri Hananto Seno, SpBM(K), MM, pada penutupan menyampaikan penghargaan pada STHM yang telah bekerjasama hingga kegiatan pembekalan dapat terlaksana. Diharapkan dengan pembekalan ini maka bila terjadi sengketa medis sudah dapat diselesaikan pada tingkat cabang PDGI. Dengan mediasi maka permasalahan dapat diselesaikan dengan baik secara cepat, adil, tidak berbiaya tinggi serta terjadi win-win solution. Direncanakan setelah kegiatan pembekalan ini dapat dilanjutkan dengan pendidikan sertifikasi mediator yang terakreditasi Mahkamah Agung RI.

Penulis : drg. Paulus Januar S, MS (Kepala Biro Hukum PB PDGI)