detikHealth-Kementerian Kesehatan RI buka suara soal somasi yang dilayangkan Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (PDPKKB). Menurut Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan RI dr Siti Nadia Tarmizi, somasi tersebut akan dipelajari lebih lanjut.

"Kemenkes Disomasi"

Namun, ia memastikan pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin merupakan laporan para dokter atas ketidakseragaman biaya pengurusan izin praktik. Apalagi, selama ini perolehan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) tidak melalui sistem yang transparan.

"Pertama, kami menghormati hak pihak-pihak yang mengajukan somasi tersebut dan tentunya akan kami pelajari lebih lanjut," jelasnya kepada detikcom saat dihubungi Selasa (28/3/2023).

"Menkes menerima laporan dari para dokter dan tenaga kesehatan terkait tidak seragamnya biaya, serta minimnya transparansi proses pengurusan STR & SIP. Ini menjadi salah satu dasar mengapa perlunya pembenahan proses perizinan," sambung dr Nadia.

Ia kemudian meluruskan maksud pemerintah di balik dukungan RUU Kesehatan Omnibus Law adalah demi kesejahteraan para dokter dalam proses sebelum dan selama berpraktik. Hal ini tentu disebutnya memerlukan penyederhanaan dari aturan yang berkelit.

Proses berkelit izin praktik dinilai menjadi hambatan produksi dokter dan dokter spesialis, jauh dari angka target ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni satu per seribu populasi penduduk.

"Untuk itu pemerintah ingin menyederhanakan proses perizinan tersebut tanpa mengurangi kualitas dan kompetensi dokter dan tenaga kesehatan melalui RUU Kesehatan. Tujuannya agar para dokter dan tenaga kesehatan tidak terbebani dengan birokrasi dan biaya dalam menjalankan pengabdian mulianya," beber dr Nadia.

Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang ramai disorot terkait surat izin praktik dan surat tanda registrasi dokter membutuhkan biaya Rp 6 juta, berawal dari polemik mahalnya obat-obatan di Indonesia. Dalam agenda public hearing Rabu (15/3) Menkes meyakini obat-obatan yang mahal di RI bukanlah dipicu pajak, melainkan sales and marketing expenses.

Sales and marketing expenses relatif mahal menurut Menkes dikarenakan ada beberapa aktivitas yang perlu diperbaiki.

"Kenapa sales and marketing expenses bisa mahal? karena beberapa aktivitas mesti diberesin. Aku nanya, saya kan ingin menyederhanakan STR dan SIP, dokter tuh kenapa sih izinnya mesti dua? Kan kasian, lima tahun sekali, berat buat dokter, kenapa nggak dibikin satu aja sih? Syaratnya dokter digabung aja," pinta dia.

"Begitu belakangan aku tahu, karena aku tanya dr Dante, Wamenkes kita saja sudah dapat SIP-nya, dok memang keluar berapa buat STR, SIP? Rp 6 juta dia bilang kan," cerita Menkes.

"Aku tanya ke dr Ade (Dirjen tenaga kesehatan), lu nerbitin berapa sih STR setiap tahun? Dokter spesialis 77 ribu, ya aku kan bankir, Rp 77 ribu kali Rp 6 juta kan Rp 460 miliar, oh pantas ribut," lanjutnya.

Dalam proses perolehan STR, peserta didik kedokteran juga wajib mengantongi 250 SKP. Menkes mendapatkan informasi, jika satu empat SKP sedikitnya bisa didapat dari satu kali seminar yang perlu membayar Rp 1 juta.

"STR butuh apa sih? 250 SKP, SKP tuh aku nanya, aku bisa salah, and iam open to be corrected," tutur dia.

"Iya jadi SKP 250 gimana dapetinnya? Ya Pak empat SKP satu seminar bayar satu juta, oh satu juta 4 SKP, jadi kalau 250, 62 juta, 62 juta kali tuh 140 ribu dokter. Itu kan satu triliun lebih, ya pantes ramai begitu ini mau diambil," lanjut Menkes.

Menkes kemudian melengkapi pernyataannya soal SIP dan STR dengan biaya Rp 6 juta yang dimaksud. Pengeluaran tersebut disebutnya termasuk dengan iuran yang dikeluarkan dokter untuk Ikatan Dokter Indonesia, juga iuran perhimpunan dokter spesialis, dan SKP. Tidak hanya pengurusan biaya administrasi STR.

Menkes juga menyebut dirinya tidak untuk menuding pihak manapun untuk meraup uang dari proses perizinan praktik, melainkan khawatir dengan biaya yang dikeluarkan seorang calon dokter untuk berpraktik. Hal ini dikarenakan bisa menghambat produksi dokter di tengah kebutuhan masyarakat yang tinggi.

Pernyataan ini yang kemudian diprotes Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (PDPKKB). Biaya penerbitan STR disebut hanya berkisar Rp 300 dan Rp 600 ribu. Menkes dinilai kurang “crosscheck” dengan informasi yang didapat hingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

"Jadi tidak ada biaya dikatakan 6 juta. Sayangnya upaya meng-cross check itu terlihat tidak dilakukan. Ditambah narasi “pantas makanya ramai”. Ini kan hal-hal yang sayang diucapkan oleh pimpinan kita di Kemenkes," beber kuasa hukum dari FDPKKB Muhammad Joni dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2023).

By Nafilah Sri Sagita K

detikHealth,