TRIBUN-MEDAN.com- Fasilitas kesehatan atau penanganan kesehatan bagi kaum disabilitas masih minim di Indonesia.
"http://medan.tribunnews.com"
Dokter Maruli Juara Aritonang alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (USU) memberikan perhatian kepada kaum disabilutas atau difabel (berkebutuhan khusus).
Selama kuliah di USU, Maruli sudah aktif dalam aksi sosial di bidang kesehatan. Maruli juga turut menjadi relawan ketika Tragedi Tsunami di Aceh tahun 2004.
Mulai dari situ Maruli mulai berkenalan dengan dokter-dokter luar negeri yang fokus pada kaum disabilitas. Pada tahun 2007, Maruli tamat dari Universitas Sumatera Utara.
Ia membuka klinik di Jalan Viyata Yudha Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar sejak tahun 2014 dengan gratis.
Maruli juga akan melanjutkan kuliah di ilmu post graduate Msc Special Care Dentistry Penanganan gigi untuk orang disabilitas/berkebutuhan khusus di Near Kings College London Inggris melalui jalur beasiswa.
Maruli menjelaskan bagi kaum disabilitas, Maruli tidak pernah membebankan biaya atau gratis.
Maruli mengatakan pilihan memberikan gratis perawatan bagi kaum disabilitas bermula saat menjadi relawan di Aceh.
Ia melihat banyak anak-anak yang kehilangan organ tubuh tetapi masih tetap semangat. Anak-anak itu juga yang membuatnya semangat untuk menyelesaikan perkuliahan.
Maruli mengungkapkan merasa lega ketika melihat kaum difabel tersenyum. Baginya, senyuman kaum difabel sebagai pengganti seluruh biaya pengobatan.
"Senyum mereka (bayarannya), ketika happy (senang). Itu saja. Mereka senyum, itu sudah cukup,"ujarnya saat ditemui tribun-medan.com, Sabtu (18/5/2019).
Maruli mengungkapkan merawat pasien difabel membutuhkan metode yang sangat berbeda. Maruli harus memiliki teknik khusus mulai membujuk atau pun menghibur agar mau dirawat.
Bahkan, untuk merawat pasien disabilitas tidak dapat membuat janji.
"Pasien disabilitas itu melihat moodnya. Makanya, seperti hari ini, ada yang tiba-tiba sudah di jalan. Nah, berarti pasiennya sedang moodnya bagus,"ujarnya.
Ia mengungkapkan banyak kriteria pasien disabilitas yang membutuhkan penanganan khusus. Misalnya, pasien yang baru datang mengidap gangguan kurang sinkron antara otak dengan otot.
"Membujuk pasien tergantung kemurangannya. Ini kekurangannya konteks otak yang menyebabkan hilangnya kordinasi otak dan otot. Cukup sulit. Paling sulit ketika pasien yang mmpunyai kecacatan campuran,"ujarnya.
Maruli mengatakan belajar melayani kaum disabilitas banyak didapat dari teman-teman dokter asal luar negeri. Saat disinggung tentang penghasilan, Maruli mengatakan pendapatan didapat dari pasien kategori umum. Maruli juga menerima pasien umum.
"Kalau finansila saya kan dari pasien umum. Kalau kebutuhan khusus enggak. Kalau kebutuhan khusus free. Kalau umum saya kutip dengan harga wajar," ujarnya.
Diketahui, ketika lulus dari kuliah di Inggris, Maruli menjadi dokter pertama yang memangku gelar spesialis disabilitas. Maruli berkeinginan melayani para kaum disabilitas hingga tidak mampu lagi bekerja.
"Kalau dalam kedokteran hingga fisik saya gak mampu lagi baru pensiun,"ujarnya.
Maruli yang memberikan pengabdiannya ini mengharapkan tidak ada lagi diskriminasi dalam perawatan kaum disabilitas.
“Penanganan normal tentu lebih banyak. Pasien disabilitas bukan pasien yang didiskriminasi,”pungkasnya.