Berubahnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menjadi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) merugikan tak hanya bagi profesi dokter maupun dokter gigi, namun juga masyarakat dan negara. Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Menaldi Rasmin ketika menjadi Ahli yang diajukan oleh para Pemohon perkara pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan). Sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli tersebut digelar pada Selasa (15/9), di Ruang Sidang MK.

"Setiap stakeholder harus membuat kebijakan dalam koridornya masing-masing, sedangkan sinergi antar kebijakan tersebut dilakukan oleh KKI agar paradigma sehat dapat terwujud. KKI Bukan entitas yang mengeksekusi kebijakan dan juga bukan entitas yang men"

Manaldi menjelaskan, bagi masyarakat khususnya pasien, ketiadaan KKI akan menimbulkan hilangnya peran dan kontribusi pembinaan dan pengawasan pada profesi kedokteran. Pasien, lanjutnya, hanya akan menjadi pasien yang menerima saja apa yang akan dilakukan pada mereka. “Ini akan menurunkan kepercayaan publik pada profesi, dan menurunkan kepercayaan publik pada praktik kedokteran di Indonesia sendiri. Ini adalah sebuah kerugian besar bagi profesi, kepastian hukum dalam tindak keprofesian akan melemah kalau bukan hilang,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.

Menaldi mengungkapkan, hilangnya KKI mengakibatkan tidak adanya peran aktif publik dalam fungsi pengawasan dan pembinaan. Selain itu, juga menghilangkan kredibilitas internasional dalam pembinaan profesi kedokteran yang justru sudah dimulai karena Indonesia baru saja dipercaya untuk memimpin di kawasan ASEAN. Ia juga menjelaskan, keberadaan KKI juga penting untuk menyaring keberadaan dokter tenaga kerja asing.

“Kemudian, kehilangan pelapis ketahanan nasional karena di dalam kompetensi KKI untuk melakukan registrasi, maka KKI akan bebas untuk menentukan yang mana sebetulnya dokter tenaga kerja asing yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang benar untuk melakukan praktik kedokteran Indonesia secara bertanggung jawab dan bukan menurut aturan yang lain,” terangnya.

Ahli Pemohon lainnya, Satryo Soemantri Brodjonegoro juga mengungkapkan pentingnya keberadaan KKI. Menurutnya, KKI merupakan wadah yang memfasilitasi semua pihak yang berkepentingan mencakup masyarakat, dokter hingga pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Kesehatan. KKI, sambungnya, diperlukan untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang mungkin terjadi di antara pemangku kepentingan (stakeholder). KKI berperan untuk memastikan bahwa kebijakan setiap pemangku kepentingan dalam bidang kesehatan semuanya mengarah kepada penjaminan kesehatan masyarakat dalam rangka paradigma sehat.

“Setiap stakeholder harus membuat kebijakan dalam koridornya masing-masing, sedangkan sinergi antar kebijakan tersebut dilakukan oleh KKI agar paradigma sehat dapat terwujud. KKI Bukan entitas yang mengeksekusi kebijakan dan juga bukan entitas yang menghakimi berbagai kebijakan yang salah, akan tetapi KKI adalah enstitas normatif yang selalu dapat dirujuk oleh seluruh stakeholder dan publik secara luas,” tuturnya.

Sebelumnya, permohonan yang teregistrasi dengan nomor 82/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dkk. Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa terlanggar dengan beberapa pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. Di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m; Pasal 11 ayat (2) dan ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), yang mengatur mengenai tenaga kesehatan. Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 90; serta Pasal 94, yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).

Menurut para Pemohon, terdapat kesalahan konsepsional dan paradigmatik mengenai tenaga medis dalam UU Tenaga Kesehatan. Alasannya, UU Tenaga Kesehatan seharusnya membedakan antara tenaga profesi di bidang kesehatan (dokter dan dokter gigi) dengan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi).

Selain itu, para Pemohon juga menggugat ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan KTKI. Menurut Pemohon, peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi ke dalam KTKI telah menurunkan derajat para dokter. Berdasarkan UU Tenaga Kesehatan, KTKI tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Para Pemohon menilai, KTKI sebagai pengganti KKI telah kehilangan independensinya, sebab saat ini KTKI tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada Presiden melainkan melalui Menteri Kesehatan.